Sunday, November 05, 2006

Komitmen Baja Seorang Lelaki

Oleh Simson Ginting

Pinta Pinta

Ola singet aku nari
Ola ku tenahken pepagi
Sope lenga terang wari
Tekuak manuk merari

Ola lolah lolah turang
Dahilah dahindu mesayang
Gia kita enggo ndauh sirang
Pekepar lawitna si mbelang
Ola atendu aru turang

Gia sirang si kita lebe
Kena nge pinta-pintaku jine
Bagem dage
Bagem lebe

Ola lolah lolah turang
Gia kam bas sapo terulang
Tatap pagi ku bulan meganjang
Ngataken arih-arihta labo sirang
Ola atendu aru turang

Gia sirang si kita lebe
Kena nge pinta-pintaku jine
Bagem dage
Bagem lebe

(Djaga Depari)


Paling tidak ada 4 lagu karya Djaga Depari yang menurut hemat saya, baik dari segi melodi maupun syair, merupakan karya monumental dari komponis besar itu. Yakni Piso Surit, Sora Mido, Si Mulih Karaben dan Pinta Pinta. Keempatnya menjadi klasik, disukai tua muda dari generasi ke generasi dan menjadi lagu pujaan banyak orang.
Dari segi syair “Pinta Pinta” mencerminkan komitmen yang kuat terhadap sebuah cita-cita. Ada tekad yang membara. Meskipun hal itu tidak terungkap secara eksplisit namun terasa menjiwai syair lagu itu. Berbeda dengan spirit yang tercermin dalam lirik lagu-lagu yang lain yang juga tersohor. Seperti “Piso Surit” dan “Pio Pio” misalnya, berbicara tentang kerinduan yang tidak kesampaian, soal nasib malang, rasa kesepian karena sang kekasih (melambangkan sesuatu) tidak memberikan tanggapan (bersikap dingin). Sedangkan lirik “Pinta-Pinta” melukiskan hal yang sebaliknya. Si "aku" meminta, dia yang bertindak, mengambil inisiatif, agar sang kekasih tidak mengenang dirinya, apalagi memintanya untuk kembali (Ula singet aku nari/Ula ku tenahken pepagi) seperti ditekankan pada larik pertama dan kedua.

Sampai disini, kita menemukan dua kalimat negatif berisi larangan : jangan. Jangan lakukan ini dan jangan lakukan itu. Ada kesan angkuh atau setidaknya mencerminkan sosok pribadi yang kokoh. Seperti puisi Chairil Anwar “Aku“, tidak perlu sedu sedan itu, katanya menampik sentimentalitas manusia dalam menghadapi maut (kodrat kematian).
Tapi apakah memang demikian?

Ternyata untuk bisa memukan makna yang utuh harus dilihat larik yang selanjutnya : Sope lenga terang wari/Tekuak manuk merari. Sebelum fajar menyingsing dan ayam berkokok bersahutan-sahutan, jangan kau kenang diriku, jangan pula memintaku untuk kembali atau pulang. Itulah yang menjadi konteks dari larik pertama dan kedua tadi. Inilah kunci untuk memahami isi keseluruhan lirik lagu tsb.
Simbol fajar
Bila demikian maka kata fajar tampak menjadi syarat mutlak atau menjadi prinsip si aku. Sebelum fajar tiba, si kekasih tidak perlu mengenang dirinya. Lupakan aku sayang. Hapus saja aku dari ingatanmu, tak ada gunanya kau kenang diriku, begitu kira-kira Djaga Depari berkata. Kalau si aku meminta kepada kekasihnya untuk menghapus dirinya dari dalam ingatannya, itu artinya menghapus eksistensinya dalam hubungan itu. Dia menjadi bagian dari ketiadaan selama fajar itu belum menyingsing.

Sungguh tekad yang sangat kuat.

Bila demikian, apa yang dimaksudkan Djaga Depari dengan ungkapan fajar menyingsing dan ayam berkokok (menekankan pada suasana fajar), Sope lenga terang wari/Tekuak manuk merari, sehingga menjadi syarat utama dalam hubungan mereka? Artinya, kalau fajar tidak menyingsing maka mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Si aku tidak akan pernah kembali. Konsekwensinya, hubungan itu akan selesai dengan begitu saja, tanpa bekas, tanpa kenangan, tanpa makna.

Secara alamiah, fajar menandai pergantian hari, hari yang baru. Suara ayam berkokok dimana-mana (merari), bersahut-sahutan, ada dinamika, merupakan "musik alami" dalam menyambut datangnya hari yang baru. Bila Fajar datang maka kegelapan malam berlalu dan tibalah hari yang baru.

Fajar tentu menjadi simbol dari sebuah cita-cita. Sesuatu yang dianggap ideal setelah keadaan buruk (kegelapan dilambangkan dengan malam) berlalu. Tapi sebelum hal itu terwujud, sebelum fajar tiba, dirinya tidak punya arti apa-apa sehingga tidak perlu atau tidak layak dikenang.
Obesesi

Bila kita amati keseluruhan lirik lagu “Pinta Pinta“ tampak sturkturnya sebagai berikut. Bait 1 berisi komitmen si tokoh dengan tekadnya yang membaja, Ola singet aku nari/Ola ku tenahken pepagi/Sope lenga terang wari/Tekuak manuk merari. Dalam bait ke 2, si tokoh mulai memberikan perhatian kepada sang kekasih dengan lemah lembut dan penuh dengan kasih sayang :Ola lolah-lolah turang/Dahilah dahindu mesayang/Gia kita enggo ndauh sirang/Pekepar lawitna si mbelang/Ola atendu aru turang.

Si aku memberikan dorongan moril kepada sang kekasih. Kendati mereka berpisah, si aku berada di seberang lautan, di perantauan, di medan juang, dia meminta kepada kekasihnya agar tidak larut dalam lamunan dan tenggelam dalam kesedihan sampai pekerjaannya terbengkalai.

Ternyata sekalipun mereka berjauhan, tidak berarti hilang dari pandangan hilang pula di hati seperti sering terjadi di era modern ini. Melainkan hanya sang kekasih saja yang senantiasa menjadi dambaan hidupnya. Gia kita sirang lebe/Kena nge pinta-pintaku jine, ujarnya. Pinta-pinta adalah sesuatu yang menjadi idaman hati. Menjadi Obsesi. Menjadi bagian dari hidupnya. Apapun yang dilakukannya, segala perjuangannya, mengarah kepada sang kekasih. Karena memang sang kekasih selalu dalam pikirannya.

Kemudian pada bait ke 3 ada kata kunci yang perlu mendapat perhatian kita yaitu larik Gia kam bas sapo terulang. Terulang artinya sesuatu yang terlantar, tidak dipergunakan lagi sehingga keadaannya tidak terurus. Sapo, tempat sementara. Bisa juga sebelum rumah selesai dibangun, untuk sementara orang membuat sapo-sapo sebagai tempat tinggal sementara. Sapo terulang simbol dari tempat tinggal sementara yang buruk dimana sang kekasih hidup/berada. Biarpun dalam keadaan seperti itu, dia minta sang kekasih tidak larut dalam lamunan atau hilang pikiran. Bila sang kekasih larut dalam kesedihannya, diminta agar dia menatap bulan di langit sebagai bukti bahwa janji yang telah mereka ikrarkan berdua tidak akan pernah luntur. Jadi, janganlah kau bersedih dik, bisik si aku dari tempat yang jauh, pekepar lawitna si mbelang. Jarak yang jauh hendaknya jangan dilihat dari segi geografis, soalnya bisa juga berarti jarak psikologis. Ndeher tempa tapi la terjaka.
Saya teringat akan kisah Abraham dalam Kitab Perjanjian Lama. Ketika hatinya mulai ragu-ragu akan janji Allah, Tuhan meminta kepada Abraham untuk pergi ke luar dari tendanya dan memandang bintang-bintang di langit. Itulah tanda dari janjiKu kepadamu Abraham, berkata Tuhan. Sejak itu, manakala hati Abraham diliputi keragu-raguan, ia pun memandang bintang-bintang di langit lalu hatinya pun menjadi kuat kembali menanti-nantikan janji agung tersebut.

Hal seperti itu pula tampaknya yang diminta oleh si aku kepada kekasihnya. Memandang bulan di langit, itulah tanda komitmen akan janji yang telah dicanangkannya. Mereka pasti bersatu, karena fajar yang dinanti-nantikan itu pasti menyingsing. Tinggal soal waktu saja. Itulah pancaran optimisme yang tersirat dalam syair lagu itu.
Multi tafsir

Seperti kita ketahui, kekuatan sebuah puisi terletak pada isinya yang bersifat multi tafsir. Apa sebenarnya makna keseluruhan lirik lagu “Pinta-Pinta”? Tidak dapat diterangkan dengan tuntas tanpa menerobos masuk ke dunia imajaniasi orang lain. Masing-masing orang menafsirkan dan merasakan getarannya secara sendiri-sendiri. Tidak ada yang seragam. Karena itu, puisi dapat berbicara kepada setiap individu dengan isi dan kadar keindahan yang berbeda-beda dan unik.
Sekarang masih tersisa dua buah pertanyaan kunci yang belum kita kupas. Pertama, kita mengerti kata fajar melambangkan sebuah cita-cita. Tapi cita-cita tentang apa? Kedua, siapa yang dimaksudkan sebagai “kekasih“ yang disapa oleh si aku dengan penuh kasih sayang itu, yang hidupnya berada dalam situasi yang serba tidak terurus, gia kam bas sapo terulang, melambangkan keadaan yang serba susah itu? Apakah benar-benar seorang gadis atau itu lambang dari sesuatu yang lebih luas?

Terserah kepada penafasiran kita masing-masing. Menikmati sebuah puisi pada hakekatnya merupakan sebuah pertemuan rahasia antara pembaca dengan penciptanya. Dalam hal ini pertemuan antara kita dengan Djaga Depari. Saya tidak bermaksud menggiring orang lain masuk ke bilik pertemuan saya dengan Djaga Depari. Kita mempunyai bilik pertemuan masing-masing. Di dalam bilik itulah terasa betapa Djaga Depari merupakan seorang penyair Karo yang luar biasa. Sayang sekali, sampai hari ini pengharagaan kita kepadanya belum setara dengan rasa kagum kita itu. Penghargaan itu masih bersifat artifisial, belum substansial.**** NRC Wina, 22 September 2006

No comments: